Tinggalkan Kampanye Ala Tukang Obat

Hampir semua penduduk Solo yang sudah atau pernah tinggal di Solo sebelum tahun 2007 pasti hafal adanya tukang obat yang mangkal di alun-alun utara, tepatnya di depan pasar klewer. Si tukang obat berkoar-koar dan sesumbar bahwa obatnya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit dari kutil sampai penyakit jantung. Dan semua penyakit itu bisa sembuh hanya dengan sebotol obat … hebat kan??? barangkali si tukang obat dapet batu mbah buyutnya batu Ponari kali ya?hehe.

Belakangan ini penulis sedang pusing ngisi SPT, ya..SPT Pajak, yg ujug2 mampir di meja kerja penulis setelah sebelumnya kartu NPWP juga nangkring di sana. Yap semenjak sunset policy diberlakukan, maka mulai tahun ini seluruh WN wajib bayar pajak, tak kurang juga seorang dosen yang penghasilannya dipotongi pajak sana sini. Yah dengan “usaha” dan “bantuan” akhirnya SPT itu sudah sempurna, tinggal dikirim saja.Bicara pajak saya jadi ingat gimmick direktorat jenderal pajak yang berbunyi ….”bayar pajaknya, awasi penggunaannya”

Sabtu kemarin 21/03/2008 penulis pergi ke Jakarta. Seturun dari pesawat penulis memanggil taksi. Seperti biasa mulailah pembicaraan basa-basi, dengan supir taksi. Mulai dari macet sampai dengan kampanye. Pak Supir menjelaskan betapa jengkelnya dia setelah sehari sebelumnya, ada partai yang berkampanye sampai memacetkan jalan. Tidak hanya itu ia juga menuturkan banyaknya penumpang yang terbengkalai karena banyak bis yang di carter oleh partai tsb. Alih-alih bisnya digunakan oleh simpatisan, ternyata bis itu kosong melompong, maka jadilah jalanan penuh bis kosong dan penumpang yang terlantar. Pak supir, hanya tertawa kecil rada nyiyir pas bilang kekuasaan cuman dipake buat beli bis kosong. Menariknya ia kemudian menceritakan beberapa seluk beluk kampanye mulai dari pernyataannya yang menarik…”parpol mah payah…banyak janji banyak lupa…sedikit janji tetep aja lupa” sampai cerita tentang menangkal money politics. Dia cerita ada parpol yang melakukan “money politics” agar memilih parpol tsb, setelah terima duit supir taksi bilang “wah kalo milih mah , terserah saya, kalo ente kasi duit ya saya terima…namanya juga rejeki”, hehehe dalam hati saya ketawa…canggih juga nih orang menangkal money politics.

Sorenya saya ke Solo, gara-gara Pesawat GA 226 yang kerajinan dan para kru darat yang kemalesan, saya ketinggalan pesawat. Usut punya usut, ternyata kesalahan terletak pada….PRINTER..wkwkwkwk ngakak saya dalam hati orang TI diakalin dengan bilang “maaf pak ini memang kesalahan kami…kesalahan terletak pada printer yang digunakan untuk mencetak tiket bapak” hhhh. Ya akhirnya saya ho-oh aza daripada ribut…ndak level ribut dengan mereka (dgn gaya Keket Wilson). Tokh ribut2 pesawatnya jg dah pergi, di awe-awe ya ndak bakal landing lagi. Akhirnya solusi ditemukan dengan menurunkan saya di bandara terdekat, mana lagi kalo bukan Adi Sucipto. Celakanya pesawat baru tersedia 2 jam kemudian…wekwew….boring lah saya di bandara Soetta luntang lantung, sampai akhirnya menemukan koneksi Internet gratisan. Bas bis bus…akhirnya pesawat berangkat dan saya tiba di Bandara Adi Sucipto sekitar jam 19.30, sudah terlalu malam untuk mengejar kereta Prambanan Ekspres. Taksi menjadi pilihan saya. Sama dengan supir tadi pagi, si supir taksi juga nyerocos tentang kampanye, dan masalah pemilu lainnya. Dari 2 supir taksi ini saya menyimpulkan, betapa rakyat kita sudah paham tentang politik, berharap besar pada pemilu, meskipun terkadang menyindir dengan nada nyinyir.

Menilik salah satu kuliah yang saya ampu, yaitu administrasi pembangunan. Ternyata pembangunan politik kita sudah membaik, rakyat sudah tahu akan hak mereka dan sudah tahu bahwa mereka seringkali dikadali politisi. Tapi apakah rakyat dan kita juga sadar, kita kerapkali dihadapkan pada kampanye yang tidak ideal?.

Seringkali penulis melihat di TV, iklan jor-joran dari partai politik mulai dari menunjukkan keberhasilannya, menekankan kontrak politik, menyingkat-nyingkat partai, sampai dengan “pasang artis” untuk iklan parpol. Menurut penulis iklan kampanye itu bisa dibagi menjadi dua. Tentu saja pembagian ini tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, lha wong keahlian penulis bukan di bidang perilklanan, anggap saja pendapat ini ditulis sebagai kritik membangun, untuk menunjukkan komitmen penulis pada pembangunan politik di Indonesia (cieee).

Kembali ke laptop…eh..konteks. Iklan kampanye dapat dibagi menjadi 2. Pertama adalah iklan Kampanye Tukang Obat. Iklan ini TIDAK MENAWARKAN program apapun ke masyarakat, partai hanya mengandalkan figur seseorang/sekelompok orang dengan embel-embel orang ini bisa/mampu menyelesaikan semua masalah. Hehe menurut saya sih mirip dengan Tukang Obat depan pasar klewer, bedanya botol obat diganti dengan sosok orang. Coba cermati, ada iklan, gambar orang ganteng/cantik yang membangga bangga kan dirinya dan mencitrakan dirinya seakan-akan mampu menyelesaikan semua permasalahan bangsa…persis kayak botol obat yang bisa menyembuhkan segala penyakit.

Kedua iklan Kampanye Pajak. Ada beberapa parpol yang sudah jelas menunjukkan program yang akan dilakukan. Program itu dijabarkan dengan jelas, disertai dengan kegiatan yang mungkin diambil. Merujuk pada pendapat si supir taksi, tentu saja janji yang muluk-muluk ini rentan lupa. Tetapi dalam konteks pembangunan politik sebenarnya model kampanye inilah yang lebih tepat, berikan program, dan biarkan rakyat memilih program, bukan lagi figur ansih. Nah masalahnya tinggal implementasinya, maka dari itu gimmick kampanye direktorat jenderal pajak yang paling cocok untuk mengatasi hal ini…Pilih Programnya…awasi Jani Politiknya…

Dari dua model kampanye tersebut, penulis secara pribadi lebih memilih kampanye model pajak. Menurut penulis memilih dengan alasan rasional tentu lebih mampu kita pertanggungjawabkan. Akhirnya…penulis menghimbau…Mari Kita tinggalkan Partai Ala Tukang Obat….dan Mari kita Pilih Partai yang menawarkan Program.

Mari kita pilih program partaunya…dan kita awasi janji politik mereka.

Salam Pemilu Damai